Sejak zaman SD saya paling tertarik dengan pelajaran sejarah. Bahkan dulu saya sempat bercita-cita ingin menjadi seorang sejarawan dan arkeolog. Saya sangat menyukai pelajaran sejarah apalagi pas membahas tentang kerajaan di indonesia. Jika membahas tentang kerajaan ada salah satu pemimpin kerajaan yang saya suka dari kerajaan majapahit yaitu Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanegara. Pada masa pemerintahan Jayanegara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan. Suami Tribhuwana bernama Cakradhara yang bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja sebagai bhre pajang.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanegara yang meninggal tahun 1328. Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Paraton, terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam Paraton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347, Adityawarman yang masih keturunan melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa kerajaan sriwijaya dan Kerajaan Malayu.
Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Menurut Paraton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.
Saya teringat kembali dengan Tribhuwana Wijayatunggadewi saat menonton drama saeguk The Great Queen Seon Deok. Drama sejarah asal korea tersebut mengisahkan tentang perjalanan sejarah seorang raja wanita pertama di kerajaan silla. Saya pun berpikir kenapa indonesia tidak mencoba membuat drama sejarah seperti itu ? Yang jelas lebih mendidik dan memberi inspirasi dibanding dengan sinetron-sinetron yang banyak tayang di stasiun tv. Kita bisa mengangkat kisah Tribhuwana Wijayatunggadewi misalnya, ke dalam sebuah film/drama sehingga kita bisa mengetahui kejadian yang ada ketika masa pemerintahannya berlangsung. Pastinya hal tersebut dapat mempermudah para pelajar dalam mempelajari sejarah ketimbang mereka harus menghapal buku bukan ?
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanegara. Pada masa pemerintahan Jayanegara (1309-1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan. Suami Tribhuwana bernama Cakradhara yang bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja sebagai bhre pajang.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanegara yang meninggal tahun 1328. Tribhuwana memerintah didampingi suaminya, Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Paraton, terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam Paraton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Tahun 1343 majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347, Adityawarman yang masih keturunan melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa kerajaan sriwijaya dan Kerajaan Malayu.
Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Menurut Paraton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan.
Saya teringat kembali dengan Tribhuwana Wijayatunggadewi saat menonton drama saeguk The Great Queen Seon Deok. Drama sejarah asal korea tersebut mengisahkan tentang perjalanan sejarah seorang raja wanita pertama di kerajaan silla. Saya pun berpikir kenapa indonesia tidak mencoba membuat drama sejarah seperti itu ? Yang jelas lebih mendidik dan memberi inspirasi dibanding dengan sinetron-sinetron yang banyak tayang di stasiun tv. Kita bisa mengangkat kisah Tribhuwana Wijayatunggadewi misalnya, ke dalam sebuah film/drama sehingga kita bisa mengetahui kejadian yang ada ketika masa pemerintahannya berlangsung. Pastinya hal tersebut dapat mempermudah para pelajar dalam mempelajari sejarah ketimbang mereka harus menghapal buku bukan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar